KH Badri Masduqi

22 04 2009

KH Badri Masduqi merupakan ulama kharismatik yang memiliki jangkauan luas dari berbagai bidang kehidupan. Wajar bila KH Tauhidullah Badri mengatakan, bahwa KH Badri Masduqi adalah sosok multidimensi yang memiliki beragam aktivitas mulai dari pengasuh Pondok Badridduja, Dosen Ma’had Aly serta pemimpin Thariqah Tijaniyah di Indonesia. Semasa hidupnya KH. Badri Masduqi rajin mengisi di berbagai forum pengajian, seminar, bahtsul masail hingga menerima tamu dari berbagai masyarakat yang berkunjung ke rumahnya.

Dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1942, KH Badri Masduqi sejak kecil terlihat tanda-tanda keistimewaan. Sejak kecil, ia sudah mulai belajar membaca Al-Quran dengan orang tuanya, Nyai Muyassaroh sekaligus memper oleh didikan yang baik dari kakeknya, Miftahul Arifin yang tinggal di daerah Pamekasan, Madura. Pendidikan formalnya diawali dari Sekolah Rakyat ( SR ) meski hanya sampai kelas IV pada tahun 1950.

Pendidikan informalnya dilakukan melalui pengemba raannya ke berbagai pesantren di Tanah Air. Beberapa pesantren yang pernah ia jelajahi adalah pesantren Zainul Hasan, Probolinggo (1950), Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, (1956), Pesantren Sidogiri, Pasuruan ( 1959 ), dan terakhir di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo (1965).

Di pesantren Bata-Bata, KH Badri Masduqi sering berpuasa dan hapal Alfiyah Ibnu Malik dalam waktu cukup singkat. Tidak heran bila pujian banyak datang kepadanya. Semasa mudanya, ia dikenal sebagai pemuda yang tangguh. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Anshor, Kraksaan, Probolinggo. Saat ter jadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, ia juga menjadi pelopor anak muda untuk menumpas pemberontakan PKI.

Sebagai seorang kiyai, ia memiliki komitmen tinggi terhadap pengembangan pesantren. Tidak heran bila aktivitas sehari-harinya ia gunakan untuk mengajar, mendidik di pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo. Pada 1975-1977, ia mulai berkiprah di Nahdlatul Ulama (NU). Lalu ditunjuk sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Kraksaan. Selain berjuang di organisasi, ia juga aktif di jajaran Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Pada 1982, misalnya, ia dikenal sebagai motor penggerak tokoh NU: KH Mahrus Ali (Lirboyo, Kediri), KH Kholil (Bangkalan, Madura), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kh Ahmad Siddiq dan lain sebagainya.

KH Masduqi juga dikenal sebagai tokoh Muqaddam Tarekat Tijaniyah. Setiap kali tampil di berbagai forum diskusi ilmiah dan seminar, ia seringkali mewacanakan tentang Tarekat Tijaniyah. Bukan hanya itu, berbagai kaset rekaman pun ia lakukan dalam rangka menyebarkan ajaran tarekat Tijaniyah. Meski demikian, ia tidak lantas bertindak konservatif. Ia dikenal sebagai tokoh moderat yang memandang masalah melalui jangkauan pemikiran yang luas. Jelasnya, ia berdiri di atas paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menganut setia ajaran Nabi Muhammad beserta sahabatnya.

Ia merupakan sosok alim yang menguasai segudang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang agama, penguasaan kitab kuning, penguasaan masalah-masalah hukum, maupun penguasaan bidang pengetahuan umum seperti ketajaman analisa sosial-politiknya. Di hadapan para kiyai lainnya, ia tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menguasai model pendidikan dan pengajaran kitab-kitab klasik (salaf), melainkan juga sebagai ulama yang konsentrasi terhadap model pendidikan pesantren modern sebagaimana yang dilakukan terhadap pesantren yang didirikannya, Badridduja.

Pengorbanan yang dilakukannya melalui Pesantren Badridduja amatlah besar bagi umat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya, jasa-jasa perjuangannya yang telah dirintis selayaknya dilestarikan dan menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia agar senantiasa meneladani kiprah perjuangan nya yang selalu memperjuangkan kesejahteraan umat.





PERAN TASAWWUF DALAM ISLAMISASI INDONESIA

22 04 2009

Oleh : Dr. Ikzan Badruzzaman

Islamisasi di Indonesia terjadi pada saat tasawuf menjadi corak pemikiran dominan di dunia Islam. Umum nya, sejarawan Indonesia mengemukakan bahwa meskipun Islam telah datang ke Indonesia sejak abad ke-8 M., namun sejak abad ke-13 M. mulai berkembang kelompok-kelompok masyarakat Islam. Hal ini bersamaan dengan periode perkembangan organisasi-organisasi thariqat. Agaknya hal ini yang menyebabkan berkembangnya ajaran tasawwuf dengan organisasi thariqatnya di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sukses dari penyebaran Islam di Indonesia berkat aktivitas para pemimpin thariqat. Tidak dapat disangkal bahwa Islam di Indonesia adalah islam versi tasawauf

Tasawuf dan thariqat pernah menjadi kekuatan politik di Indonesia. Tasawuf dan thariqat mempunyai peran yang penting memperkuat posisi Islam dalam negara dan masyarakat, serta pengembangan lingkungan masyarakat lebih luas. Beberapa peran itu di antaranya :

1. Peranan sebagai faktor pembentuk dan mode fungsi negara. 2. Sebagai petunjuk beberapa jalan hidup pembangunan masyarakat dan ekonomi, dan 3. Sebagai benteng pertahanan menghadapi kolonialisasi Eropa.

Peran tasaawwuf dan thariqat yang lebih menonjol adalah di bidang politik. Menurut Sartono Kartodirjo, thariqat pada abad ke-19 M., menunjukkan peranan pen ting, berkembang menjadi golongan kebangkitan paling dominan. Walaupun pada mulanya thariqat merupakan gerakan kebangkitan agama, thariqat berangsur menjadi kekuatan politik keagamaan, bahkan menjadi alat paling efektif untuk mengorganisasikan gerakan keagamaan dan doktrinisasi cita-cita kebangkitan bangsa.

Tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang mem pelajari cara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah swt. Kaum orientaalis Barat, menyebutnya sufisme, dan bagi meraka kata sufisme khusus untuk mistisme dalam Islam. Thariqat berarti jalan raya (road) atau jalan kecil (gang). Kata thariqat secara bahasa dapat juga berarti metode, yaitu cara yang khusus mencapai tujuan. Secara terminologi, istilah kata thariqat berarti jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Kemudian digunakan untuk menunjuk suatu metode psikologi moral untuk membimbing seseorang me ngenal Tuhan lebih dekat lagi.

Hal yang wajar apabila dalam perkembangan dakwah Islam selanjutnya, tasawwuf dan thariqat mempunyai pengaruh besar dalam berbagai kehidupan sosial, budaya dan pendidikan yang banyak tergambar dalam dinamika dunia pesantren (pondok). Pada umumnya tradisi pesantren bernafaskan sufistik, karena banyak ulama berafiliasi dengan thariqat. Mereka mengajarkan kepada pengikutnya amalan sufistik.

Kondisi semacam ini mempermudah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi thariqat yang berkem bang di dunia Islam. Di Indonesia banyak sekali thariqat yang berkembang dan tersebar di berbagai daerah. Abubakar Aceh menyebutkan, di Indonesia terdapat sekitar 41 ajaran thariqat. Sedangkan Nahdhatul Ulama (NU) melalui Jam’iyah Thariqat Mu’tabaroh Al-Nahdhiyyah-nya mengatakan, jumlah thariqat di Indonesia yang diakui keabsahannya (mu’tabaroh) sampai saat ini ada 44 thariqat. Hal ini menunjukkan thariqat yang berkembang di Indone sia, bahkan di dunia Islam banyak sekali jumlahnya.

Imam Asy-Sya’rani, dalam Mizan al-Kubra, menyebut kan bahwa jumlah thariqat dalam syari’at Nabi Muhammad saw. terdapat 360 jenis thariqat. Hal ini dimungkinkan karena, sebagaimana akan dilihat nanti, thariqat adalah cara mendekatkan diri kepada Alloh swt., sekaligus merupakan amalan keutamaan (fadho’il al-‘amal) dengan tujuan memperoleh rahmat Alloh swt.

Di antara thariqat-thariqat yang berkembang di Indonesia yang merupakan cabang dari gerakan sufi internasional adalah Thariqat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (470-561 H.), Thariqat Naqsabandiyah didirikan oleh Baha’uddin Naqsaband al-Bukhori (717-791 H.), Thariqat Syaziliyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syazili yang berasal dari Syaziliyah, Tunisia, (w. 686 H.), Thariqat Rifa’iyah yang didirikan oleh Syeh Akhmad al-Rifa’i (W. 578 H.), Thariqat Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi (490-565 H.), dan Thariqat Tijaniyah.

Tijaniyah adalah nama yang dinisbahkan kepada Syekh Abul-Abbas Ahmad Ibn Muhammad at-Tijani yang lahir pada tahun 1150 H., di ‘Ain Madi Aljazair, dari pihak ayahnya keturunan Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kata At-Tijani diambil dari suku yang bernama Tijanah dari pihak ibu. Syekh Ahmad at-Tijani dikenal di dunia Islam melalui ajaran thariqatnya yang sampai sekarang tersebar di 18 negara di antaranya: Kerajaan Maroko, Pakistan, Tunisia, Mauritania, Sinegal, Perancis, Amerika, Cina dan Indonesia.

Tharikat Tijaniyah masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 M., pada masa awal kehadirannya, penyebaran thariqat Tijaniyah terpusat di Cimahi Bandung yang dikembangkan oleh Syekh Usman Dhamiri, di Cirebon dikembangkan dari Pesantren Buntet melalui K.H. Anas dan K.H. Abbas, di Probolinggo Jawa Timur dikembangkan melalui K.H. Khozin Syamsul Mu’in, di Madura oleh K.H. Jauhari Khotib, dan di Garut dikembangkan oleh K.H. Badruzzaman. Sampai sekarang ajaran tarikat Tijaniyah telah berkembang di beberapa provinsi di Indonesia di antaranya: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Bali, NTT, Kalimantan, Lampung dan Sulawesi. Khusus di Jawa Barat tarikat Tijaniyah telah menembus hampir ke seluruh kabupaten.

Ada tiga jenis wirid tarekat Tijaniyah yakni : wirid lazimah, wirid wadzifah, dan wirid hailalah. Secara umum tiga jenis wirid ini mengembangkan metode istigfar, shalawat, dan dzikir. Metode istighfar dimaksudkan untuk membangun kesadaran insaniyah, tentang bahayanya per buatan maksiat yang menimbulkan dosa. Metode shalawat dimaksudkan untuk membangun kesadaran pentingnya memiliki idola (uswatun hasanah) dalam melakukan taqorub kepada Allah swt. Sedangkan metode dzikir membangun saluran langsung dengan rahmat dari Allah swt. @





KEMUNCULAN THORIQOH

22 04 2009

Thariqoh adalah salah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thariqoh dari generasi ke generasi  sampai kita sekarang.

Lihat saja,  misalnya hadis  yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatab RA. berkunjung ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia telah masuk di dalamnya, dia tertegun  melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan unuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang. Maka kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rasulullah ? hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan dunia barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang  Kisra dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi.”

Suatu hari Malaikat Jibril As. datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. setelah menyampaikan salam dari Allah Swt, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman As atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub As?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah Swt dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan ujian Allah Swt.”

Bahkan suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya. Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rasulullah.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menjawabnya: ”Karena pada itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan  pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian!”

Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar  bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar  waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.

Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadii di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan  kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah,dan Zuhhad.

Hanya saja ada perbedaan diantara mereka. Kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan  para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.

Meskipun  saat itu Daulat Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari  daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Semua itu dikarenakan fakor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan. Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad.

Golongan Zuhhad inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan buku ini, karena gerakan-gerakannya mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar dan mendekatkan diri pada Allah ‘Azza wa jalla.

Gerakan yang muncul di akhir abad per enam hijriyyah ini, pada mulanya meupakan kegiaan sebagian  kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridla Allah Swt, agar idak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Karenayna, pada saa itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang- orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “Ubbad” (orang yang rajin  melaksanakan ibadah).

Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat  ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadlah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapna tabir antara diriyna dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan “takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu “tahalli”, yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu “tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah Swt. Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat Muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu “Tashawuf.”

Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thariqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Sufi. Pada saat itu disebut “Thariqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thariqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran. Yang pertama lebih menekankan pada  dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thariqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembibingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridyna. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thariqoh.”

Pada perkembangan berikutyna, terjadi perbedaan diantara tokoh Sufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah Swt dan ridlanya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu  nafsu ammarah, ke tingkat  nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthmainah, lalu ke nafsu  mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu radliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang mengguanakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.

Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thariqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.

SUMBER :

http://thoriqoh-indonesia.org/





Tentang Hukum Merokok

22 04 2009

Sekitar 400 tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan lainnya lebih cenderung men fatwakan haram.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram, karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan setuju, termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

عن ابن عباس قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. )رواه ابن ماجه الرقم 2331(


Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari kedua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat atau tidak, dan terdapat pula manfaat atau tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatannya. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya masing-masing.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram. Dari pendapat tersebut beserta argumennya, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga ; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa juga ketiga hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang ‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) sebagai berikut :

لـم يرد فـي التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف ……. والذي يظهر أنه إن عرض له ما يـحرمه بالنسبة لـمن يضره فـي عقله أو بدنه فحرام، كما يـحرم العسل على الـمحرور والطين لـمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تـجربة نفسه بأنه دواء للعلة التـي شرب لـها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الـخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الـخلاف القوي فـي الـحرمة يفيد الكراهة.


Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan dari dokter yang terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) sebagai berikut :

إن التبغ ….. فحكم بعضهم بـحله نظرا إلـى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلـى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل فـي مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الـحرمة بالنسبة فقط لـمن يضره ويتأثر به. …. وحكم بعض أخر بـحرمته أوكراهته نظرا إلـى ما عرف عنه من أنه يـحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الـحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.


Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167), sebagai berikut:

القهوة والدخان : سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب : للوسائل حكم الـمقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الـحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الـحنبلي صاحب غاية الـمنتهى : ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولـى لكل ذي مروءة تركهما.


Masalah kopi dan rokok;

Penyusun kitab Al-‘Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab : Kopi itu sarana hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun adalah lebih utama meninggalkan keduanya.

Wallohu a”lam





Mazhab Salafy adalah mazhab yang terlarang

22 04 2009

Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab pada bab Adab Berfatwa, Mufti dan Orang Yang Bertanya Fatwa. berpendapat :Tidak boleh bagi si awam untuk bermazhab kepada salah seorang dari para sahabat r.a atau bermazhab kepada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ulama’ sesudah mereka. Kerena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk merumuskan prinsip-prinsip asas dan furu’nya. Maka tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang memiliki mazhab yang telah dianalisis, Tapi para ulama’ yang datang sesudah merekalah yang melakukan usaha merumuskan hukum-hukum serta menerangkan prinsip-prinsip asas dan furu’, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan lain-lain.”

“Bahkan Imam Syafi’ie adalah imam berikutnya yang telah menganalisis mazhab-mazhab pendahulunya seperti mereka melihat mazhab-mazhab para ulama’ sebelumnya. Beliau menguji, mengkritik dan memilih mana yang paling rajih (kuat), dan beliau mendapat hasil dari usaha ulama’ sebelumnya dan telah meluangkan waktu untuk memilih dan mentarjih serta menyempurnakannya. Dan dengan alasan inilah beliau mendapat kedudukan yang lebih kuat dan rajih, bahkan tidak ada sesudah beliau, ulama yang mencapai kedudukan ini. Maka dengan alasan ini pula, mazhab beliau adalah mazhab yang paling utama untuk diikuti dan bertaqlid dengannya”.

Mazhab Salafiyyah adalah bid’ah yang dibuat-buat.

Seorang ulama besar Syria Sheikh Prof. Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Bouthi menerangkan dengan panjang lebar tentang adanya ajaran baru yang dinamakan “as-Salafiyyah”. Beliau menyatakan bahwa GENERASI SALAF sangat berbeda dibandingkan dengan MAZHAB AS-SALAFIYYAH yang digembar-gemborkan oleh pengamal Wahabi di Makkah.

Beliau berkata, bahwa istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah. Istilah ini telah disepakati oleh para ulama’ generasi Salaf untuk menamakan golongan yang benar. Tatkala istilah as-Salafiyyah yang digunakan oleh golongan Wahhabi untuk melambangkan golongan yang benar [menurut sangkaan mereka] adalah satu bid’ah yang tercela. Bahkan beliau menulis sebuah kitab yang berjudul :

( السلفية : مرحلة زمنية مباركة لا مذهب إسلامي )

“As-Salafiyyah adalah Satu Gemerasi Yang Diberkahi dan bukanlah Sebuah Mazhab Islam.”

Kitab ini berisi tentang penjelasan dan kritikan yang ilmiah dari beliau terhadap ajaran Wahhabi.

Beliau berkomentar : “Apabila ada seorang Muslim yang memperkenalkan dirinya bahwa dia adalah pengikut mazhab Salafiyyah, maka tanpa ragu-ragu lagi bahwa dia adalah seorang ahli bid’ah. Sebab jika istilah Salafiyyah itu disamakan dengan “Ahli Sunnah wal Jamaah”, maka sungguh dia telah menciptakan nama yang berbeda dengan nama yang telah disepakati oleh generasi Salaf. Bahkan nama serta istilah Salafiyah ini telah cukup menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri”.

“Dan jika istilah Salafiyyah ini memiliki maksud yang berbeda dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka mereka telah membuat istilah Salafiyyah baru dengan isi ajarannya yang bathil. Dan telah terbuktilah bahwa golongan Salafi Wahhabi ini telah menggunakan istilah Salafiyyah untuk memisahkan diri dari jemaah mayoritas Umat Islam yang bersatu dalam menggunakan istilah “Ahli Sunnah dan Jama’ah” yang benar”.

Semoga kita semua dipelihara oleh Allah SWT dari tipu muslihat orang-orang kafir di dalam memecah belah persatuan umat Islam. Amiiin.





Gus Dur dan Sepatu Bush

22 04 2009

Terjadinya insiden pelemparan sepatu oleh wartawan stasiun TV di Irak ke arah presiden Amerika Serikat George W.Bush, membuat dunia jadi geger. Semua media menyajikannya sebagai berita utama. Tokoh-tokoh dunia berkomentar.

Mayoritas memberikan dukungan kepada sang warta wan. “Lemparan penghinaan itu adalah tanggapan balik terhadap invasi Amerika ke Irak.” Dunia Arab kontan memberinya gelar pahlawan, walaupun akhirnya wartawan ini babak belur.

Para tokoh di Indonesia pun tidak ketinggalan. Ada yang menyesalkan sikap wartawan yang emosional, tidak ber-etika. Namun umumnya memberikan acungan jempol kepada wartawan.

Tibalah saatnya dalam suatu forum politik para wartawan merangsek mendekati mantan presiden RI Gus Dur, meminta pendapatnya soal sepatu Bush.

“Gus, bagaimama pendapat anda tentang insiden pelemparan sepatu? Apakah itu termasuk bentuk kejengkelan warga Irak?”. “Atau apakah Bush pantas mendapatkan itu ?”

Gus Dur diam sejenak. Tapi tiba-tiba dia memberikan jawaban : “Aaah wong nggak kena aja kok pada ribut,” jawab Gus Dur sambil jalan.

Ijazah ‘Palsu tapi Asli’

Pada zaman reformasi ini banyak kesempatan untuk menjadi pejabat, sehingga kadang-kadang para calon pejabat kurang persiapan. Termasuk menyiapkan ijazah yang asli.

Di salah satu kabupaten di Jawa Timur, saat menjabat, seorang bupati kedapatan berijazah palsu. Ia pun disidang di pengadilan. “Anda dituntut hukuman penjara karena ijazah anda ini palsu,” kata hakim kepada bupati sambil mengangkat ijazah yang dibawakan penuntut umum. Tapi sang bupati menolak ijazahnya dikatakan palsu. Dengan emosi ia membantah : ”Enggak pak hakim. Sungguh, saya ndak bohong. Kata yang njual, ijazah itu katanya asli kok pak”.





syarat

22 04 2009

Soal : Bagaimana hukumnya orang yang tidak menemukan ikhwan untuk membaca dzikir wadzifah bersama-sama, baik sekali waktu maupun untuk seterusnya ???

Jawab : Orang yang tidak menemukan ikhwan untuk dzikir bersama, boleh membaca wadzifah sendirian yang akan di sertai malaikat seperti yang telah diterangkan. Hal ini, bila dia bertempat dilingkungan yang tidak terdapat ikhwan. Namun jika tidak, mereka harus berkumpul dan tidak boleh meninggalkan jama’ah wadzifah yang mungkin diadakan (di suatu daerah) kecuali karena udzur. Sebab, barangsiapa yang meremehkan hal ini, akan mendapat bala, kecuali jika terdapat udzur syar’i atau halangan yang tidak mungkin untuk dihindari, seperti sakit, tertidur, lupa, takut dan lain-lain, dan yang terpenting adalah tidak meremehkan jamaah wadzifah. Adapun pekerjaan ( bisnis ) itu tidak termasuk udzur. Oleh karena itu, seyogyanya dia meluangkan waktu untuk dirinya sendiri dan dia berserah diri kepada Allah. Karena baginda Nabi SAW akan menanyakan setiap orang yang meninggalkan jama’ah wadzifah, sebab beliau sangat perhatian kepada jam’ah ini. Bila diantara mereka ada yang tidak mengikuti jama’ah wadzifah kerena udzur syara’, baginda Nabi akan menanyakan kepada Syekh Ahmad, dan dengan wajah yang merona merah karena malu, Syekh akan menjawab pertanyaan beliau. Akan tetapi, jika dia meninggalkan jama’ah wadzifah bukan karena udzur, Syekh ra tidak menjawab pertanyaan Nabi SAW, karena sangat malu kepada beliau. Bahkan sampai tiga kali Syekh ra tidak menjawab pertanyaan Nabi, sehingga nabi tidak bertanya lagi. Martabat orang yang tidak mengikuti jama’ah wadzifah sampai tiga kali telah jatuh menjadi hina, akibat meremeh kannya. Na’udzu billah, Sungguh hal ini adalah penghalang yang sangat besar. Pelakunya tidak akan ditanya (diperhati kan) oleh Nabi SAW, kecuali jika ada orang khusus yang mau memberinya syafa’at. @





PERBEDAAN ILMU HIKMAH DAN TASAWUF

22 04 2009

ILMU HIKMAH adalah sebuah ilmu kebatinan dengan metode zikir dan doa, adakalanya juga dengan mantra berbahasa Arab atau campuran tetapi tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam, ditujukan untuk urusan duniawi seperti kekebalan, pangkat, karir, perjodohan, pengasihan dan lain-lain

ILMU TASAWUF adalah bersungguh-sungguh dalam ber buat baik dan meninggalkan sifat-sifat tercela. serta tekun beribadah, berhubungan langsung dengan ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah kepada Allah SWT.

TATA CARA MENGUASAI ILMU HIKMAH : Dengan puasa, zikir/wirid, amalan, doa, membaca ayat-ayat Qur’an, dengan mantra, sya’ir-syair yang dibuat oleh para ulama ahli hikmah dan lain-lain

TATA CARA MENGUASAI ILMU TASAWUF : Wajib mengamalkan seluruh ajaran Islam, Maka tidak berguna ilmu tasawuf tanpa ilmu fiqih, karena kita tidak bisa mengetahui hukum ALLAH yang zhahir kecuali dengan ilmu fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali dengan tasawuf, karena tidak ada amal dengan kebenaran yang terarah kecuali dengan tasawuf. Dan juga tidak ada tasawuf dan fiqih kecuali dengan Iman, karena tidaklah sah salah satu dari keduanya (fiqih dan tasawuf) tanpa iman. Maka wajiblah mengumpulkan ketiganya (tauhid, fiqih, tasawuf).

Imam Malik berkata : Barangsiapa bertasawwuf tapi tidak berfiqih maka dia telah kafir zindiq (pura-pura beriman), dan barangsiapa yang berfiqih tapi tidak bertasawuf maka dia telah (berdosa) dan barangsiapa yang mengumpulkan keduanya (fiqh dan tasawwuf) maka dia telah benar.

Jadi Tasawwuf itu harus sempurna Iman (akidah), Islam (syari’ah) dan Ihsan (Hakikat). Atau Syari’ah, Thoriqoh dan Hakikah. Maka Syari’ah adalah menyembah ALLAH, Thoriqoh adalah menuju ALLAH, dan Hakikah adalah menyaksikan ALLAH. Atau Syari’ah itu untuk memperbaiki lahiriah, Thoriqoh untuk memperbaiki bathiniah (hati), dan Hakikah untuk memperbaiki Sir (Rahasia diri).

TUJUAN ILMU HIKMAH adalah masalah keduniawian seperti kekebalan, kesaktian, pengasihan, jodoh, ramalan, pengobatan, rejeki dan lain-lain. Sedangkan TUJUAN ILMU TASAWWUF adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara benar dan lebih jelas).

KEKUATAN dan KEMULIAAN

Kekuatan ilmu hikmah adalah kekuatan Hissiah (panca indera/lahiriah) seperti berjalan di atas air, terbang di udara, melipat bumi, mendatangkan air bah, mendatangkan makanan, tampaknya kegaiban dan lain-lain. Sedangkan kekuatan ahli tasawwuf adalah Ma’nawiyyah, yaitu istiqo mahnya seorang hamba kepada Tuhannya dalam lahir dan bathin. Terbuka hijab dari hatinya sehingga mengenal jelas Tuhannya. melatih menguasai dirinya dan menentang hawa nafsunya, kuat keyakinannya dan tenang bersama ALLAH.

Imam Ibnu ‘A-tho-illah berkata : Terkadang ALLAH memberikan keramat kepada orang yang tidak sempurna isqomahnya, seperti tukang sihir dan dukun. Dan terkadang karomah tampak di tangan para pendeta, Dan ini bukanlah karomah tapi Istidroj ( tipuan ).

Imam Abu Yazid Al Bustomi berkata : “Jika kamu melihat seseorang yang diberikan karomah (keramat) sehingga dia dapat terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu melihat bagaimana kamu menda patkan dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta menjaga batasan-batasan syari’at” (Lihat kitab Risalah Qusyayriyyah halaman 14 atau buku 40 Masalah Agama III halaman 38).





KH. BADRUZZAMAN

22 04 2009

kiyai-badruzzaman


KH. Badruzzaman lahir tahun 1900 di Pesantren Al-Falah Biru Garut, putra kelima dari sembilan bersaudara dari KH. Faqih bin KH. Adza’i. Beliau mengaji kepada ayahnya, dan pamannya dari pihak Ibu di Pesantren Pangkalan Tarogong yakni KH. R. Qurtubi dan selanjutnya pindah ke pondok yang di asuh oleh kakaknya KH. Bunyamin ( Syekh Iming ) di Ciparay Bandung. Kemudian ia mendalami ilmu di Pondok Pesantren Cilenga Tasikmalaya, selanjutnya di Pondok Pesantren Balerante Cirebon.

Pada tahun 1920 M Badruzzaman bersama kakaknya Bunyamin berangkat ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu agama, bermukim selama 3 tahun. Tahun 1926 M beliau ke Makkah lagi untuk kedua kalinya bermukim selama 7 tahun. Di antara guru-gurunya di Makkah adalah : Syekh Alawi al-Maliki ( Mufti Makkah dari madzhab Maliki ) dan Syekh Sayyid Yamani ( Mufti Makkah dari madzhab Syafi’I ). Di Makkah, beliau mempunyai teman diskusi yaitu, KH. Kholil dari Bangkalan Madura. Sedangkan di Madinah beliau ber guru pada Syekh Umar Hamdan ( seorang ulama ahli hadits dari mazhab Maliki ).

Pada tahun 1933 KH. Badruzzaman kembali ke Tanah Air dan langsung memimpin Pondok Pesantren Al-Falah Biru melanjutkan ayahandanya bersama dengan kakaknya KH. Bunyamin. Di pesantrennya beliau mengem bangkan berbagai disiplin ilmu ke-Islaman : Tafsir, Hadits, Fiqih dan Usul Fiqih ilmu Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Badi’, Bayan, ilmu Arud dan ilmu Maqulat.

Ketika Revolusi beliau terjun dan bergabung dengan Hizbullah memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan mengkader para mujahid melalui khalwat. Karena Pesantren Al-Falah Biru tidak aman dan menjadi sasaran se rangan musuh, beliaupun mengungsi di Cikalong Wetan ( Purwakarta ), Padalarang, Majenang ( Jawa Tengah ) dan Taraju ( Tasik ) dengan terus mengembangkan ilmu agama di tempat-tempat itu.

Dalam kehidupan politik dan organisasi, KH. Badruz zaman beserta Kyiai lain diantaranya KH. Mustafa Kamil mendirikan Organisasi Al-Muwafaqoh sebagai wadah penya lur aspirasi umat Islam untuk mengusir penjajah Belanda dan dipercaya sebagai Ketua. Pada Tahun 1942 M, KH. Badruzzaman bersama dengan KH. Ahmad Sanusi Sukabu mi mendirikan Persatuan Ulama, untuk mengikat Ulama dalam satu wadah, tahun 1951 M organisasi ini berfusi dengan Persyarikatan Ummat Islam di Majalengka yang kemudian menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI).

Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1945 M KH. Badruzzaman bergabung dengan Masyumi dan dipercaya sebagai anggota Majlis Syura dan kemudian aktif di PSII sebagai Ketua Masywi ( Majelis Syar’i wal Ibadat ) wilayah Jawa Barat dan pada tahun 1967 M atas ajakan keluarga dekatnya KH. Badruzzaman masuk Partai PERTI ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah ) duduk sebagai Majlis Tahkim.

Beliau mempelajari kitab-kitab yang membahas Tarekat Tijaniyah diantaranya Kitab Jawahir al-Ma’ani yang disusun oleh Syekh Ali Harazim, Kitab Bughyah al-Mustafid yang disusun oleh Sayyid Al-Arobi dan Kitab Al-Jaisyulkafil yang dikarang oleh Muhammad Al-Sinqiti untuk selanjutnya mendiskusikan hasil Muthala’ahnya dengan Muqaddam Tarekat Tijaniyyah, yaitu dengan Syekh KH. Usman Dhomiri ( salah seorang Muqadam Tarekat Tijaniyyah Jawa Barat ), Syekh Abbas Buntet Cirebon, KH. Sya’roni dari Jatibarang ( Brebes Jawa Tengah ) untuk selanjutnya beliau mengamal kan Tarekat Tijaniyyah dengan mendapatkan ijazah dari Syekh Usman Dhomiri. Ketika beliau di Makkah beliau mendalami ilmu Tarekat Tijaniyyah, salah satu Tarikat Mu’tabaroh dari Syekh Ali At-Thoyyib ( Mufti Harommain dari madzhab Syafi’I ) dan beliau diangkat sebagai Muqoddam.

Dalam mengembangkan tarekat Tijaniyah, beliau mengangkat beberapa wakilnya di  beberapa daerah diantaranya KH. Mukhtar Gozali di Pondok Pesantren Al-Falah, KH. Ma’mun, tokoh masyarakat dan ulama di Samarang ( Garut ), KH. Endung ( Ulama di Cioyod-Cibodas Garut ), KH. Imam Abdussalam ( Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Darul-Falihin Ciheulang Bandung ), KH. Mahmud ( Ulama di Padalarang Bandung ) dan KH. M. Fariqi ( Ulama di Pekalongan Jawa Tengah ).

KH. Badruzzaman masih sempat menyusun karya ilmiah dalam berbagai bidang disiplin ilmu ke-Islaman, diantaranya Risalah Tauhid dan Allohu Robbuna ( Bidang Tauhid ) Kaifiyat Shalat, Kaifiyat Wudhu ( bidang Fiqih ) yang mana kedua buku tersebut berdasarkan Fiqih Madzhab Syafi’i, selain itu beliau juga menyusun Nadhom Taqrib dan memberi Sarah Safinatun Naja karya Syekh Nawawi al-Bantani; Risalah ilmu Nahwu, Risalah Ilmu Saraf, Nadhom Jurumiah ( Bidang Nahwu Sharaf ); dan beliau menyusun ilmu Bayan dalam bentuk Nadhom; serta kitab Siklus Sunni ( bidang Tashawuf ). Beliau wafat pada awal tahun 1972 M tepatnya pada tanggal 3 Ramadhan 1390 H dalam usia kurang lebih 72 tahun, dan dimakamkan di samping masjid Pondok Pesantren Al-Falah Biru Garut. @





MENGENAL THORIQOH

22 04 2009


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Batang; panose-1:2 3 6 0 0 1 1 1 1 1; mso-font-alt:”Arial Unicode MS”; mso-font-charset:129; mso-generic-font-family:auto; mso-font-format:other; mso-font-pitch:fixed; mso-font-signature:1 151388160 16 0 524288 0;} @font-face {font-family:”Copperplate Gothic Bold”; panose-1:2 14 7 5 2 2 6 2 4 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:3 0 0 0 1 0;} @font-face {font-family:Verdana; panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:536871559 0 0 0 415 0;} @font-face {font-family:”DecoType Naskh”; mso-font-alt:”Times New Roman”; mso-font-charset:178; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:24577 -2147483648 8 0 64 0;} @font-face {font-family:”Arb Naskh”; mso-font-charset:2; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 268435456 0 0 -2147483648 0;} @font-face {font-family:”\@Batang”; panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:129; mso-generic-font-family:auto; mso-font-format:other; mso-font-pitch:fixed; mso-font-signature:1 151388160 16 0 524288 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} p {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0in; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:1030571986; mso-list-template-ids:2011568464;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:27.0pt; mso-level-number-position:left; margin-left:27.0pt; text-indent:-.25in; mso-ansi-font-weight:bold; mso-bidi-font-weight:bold;} ol {margin-bottom:0in;} ul {margin-bottom:0in;} –>


/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
table.MsoTableGrid
{mso-style-name:”Table Grid”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
border:solid windowtext 1.0pt;
mso-border-alt:solid windowtext .5pt;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-border-insideh:.5pt solid windowtext;
mso-border-insidev:.5pt solid windowtext;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

THORIQOH adalah jalan / metode implementasi syariat. atau cara yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan syariat Islam sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah Swt. Jadi orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum Syariat, atau Syariah itu hukum dan Thariqah itu pelaksanaan dari hukum itu sendiri.

Thariqah ada 2 (dua) macam :

1. Thariqah ‘Aam : yaitu melaksanakan hukum Islam seperti yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari mursyid / muqaddam.

2. Thariqah Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang Syeikh ( Mursyid / Muqaddam ). Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang Mursyid dengan izin bai’at khusus yang sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw. Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah Sufiyah / Thariqah Auliya’. Thariqah Sufiyah yang memiliki izin dan sanad langsung sampai kepada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama’ berjumlah 44 Thariqah, dikenal dengan Thariqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlut Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah. Dalam kitab Mizanul Qubro yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :

اِنَّ شَرِيْعَتـِيْ جَا ئَتْ عَلَى ثَلاَثـِمِا ئَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ اَحَدَ طَرِيْقَةٍ مِنْهاَ اِلاَّ نـَجَا. ( الـميزان الكبرى للامام الشعرني 1 / 30 )

Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah, siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: 1 / 30 )

Dalam riwayat hadits yang lain dinyatakan bahwa :

اِنَّ شَرِيْعَتـِيْ جَائَتْ عَلىَ ثَلاَثـمِاِئَةٍ وَثَلاَثَ عَشَرَةَ طَرِيْقَةً. لاَ تَلَّقَى اْلعَبْدُ بِهَا رَبَّنُاَ اِلاَّ دَخَلَ اْلـجَنَّةَ ( رواه الطبرني )

Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah, tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Allah dengan salah satunya, pasti masuk surga”. (HR. Thabrani)

Terlepas dari perbedaan redaksi dan jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits diatas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi SAW yang al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada Hadits Nabi yang shahiih?

Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah Mujahadah dan thariqah Mahabbah. Thariqah mujahadah adalah metode pendekatan kepada Allah SWT dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharap kan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan disisi Allah SWT dengan sedekat dekatnya. Sebagian besar thariqah adalah thariqah mujahadah.

Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanan nya menuju hadirat Allah SWT seorang hamba memperba nyak ibadah atas dasar cinta dan syukur akan limpahan rahmat dan nikmat Allah SWT, tidak ada target maqamat dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunnah dalam hal ini. Tapi dengan melaksanakan ibadah secara ikhlash tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala ahirat, kerinduan si hamba yang penuh cinta pada Allah akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan / jabatan disisi Allah. tapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. Habibullah ( kekasih Allah ) adalah kedudukan Nabi kita Muhammad SAW. Dan satu satunya thariqah yang menggu nakan metode mahabbah adalah Thariqah Tijany.

Nama-nama thariqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyah dan dinyatakan Mu’tabaroh antara lain :

Umariyah

Naqsyabandiyah

Qadiriyah

Syadziliyah

Rifaiyah

Sahrowardiyah

Ahmadiyah

Dasuqiyah

Akbariyah

Kubrawiyyah

Jusfiyyah

Buhuriyyah

Maulawiyah

Khalwatiyah

Kalsaniyyah

Syathariyah

Jalwatiyah

Sa’baniyyah

Idrusiyah

Ghaibiyyah

Bakdasiyah

Matbuliyyah

‘Alawiyah

Haddadiyah

Ghazaliyah

Usysyaqiyyah

Bairumiyah

Isawiyah

Rumiyah

Bayumiyyah

Hamzaniyyah

Zainiyah

Sa’diyah

Utsmaniyah

Bakriyah

Abbasiyah

Subbuliyyah

Akabirul Auliya’

Malamiyyah

Khodiriyah

Uwaisiyyah

Sammaniyah

Idrisiyah

Tijaniyah

Diambil dari buku hasil keputusan Kongres & Mubes Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabaroh An Nahdliyah halaman 25, pada hasil Mu’tamar kedua di Pekalongan tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H / 9 November 1959.